Selasa, 02 Maret 2010

Corak masyarakat multikultural di Australia sudah terbentuk sejak ratusan tahun lalu. Seperti apakah kehidupan beragama di Australia? Bagaimana pula kondisi umat Muslim di sana?

Mayoritas masyarakat Indonesia hampir dapat dipastikan menganggap down under tersebut sebagai negeri sekuler yang tidak menghargai kehidupan beragama, khususnya terhadap pemeluk agama Islam. Sebagian lain menganggap kehidupan beragama Negeri Kanguru tersebut dimonopoli Kristen dan penduduk keturunan Eropa Barat dan pada sisi lain meminggirkan hak umat beragama lain serta masyarakat yang berbeda latar belakang budaya.

Persepsi seperti itu selalu beranjak dari sejarah perlakuan diskriminatif dan marginalisasi masyarakat Australia yang didominasi kulit putih terhadap masyarakat asli penghuni negara benua yang terletak di tenggara Indonesia, Aborigin, dan terus terbangun dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat serta seolah sudah menjadi kebenaran.

Namun, jika kondisi negeri itu ditanyakan kepada pelajar Indonesia yang pernah menimba ilmu atau masyarakat yang pernah berkunjung ke sana, jawabannya akan sangat kontras. Mereka memberikan jawaban bahwa pemerintah dan masyarakat Australia sangat menghargai kehidupan beragama dan keberagaman budaya atau multikulturisme.

Negara Commonwealth Inggris Raya di era modern ini sudah menampilkan wajahnya sebagai negara demokratis, toleran, terbuka, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan persamaan hak. Praktik ini bukan sekadar di level aturan hukum dan ketatanegaraan, tapi sudah terasa membumi dalam keseharian kehidupan masyarakat Australia.

Saat berkesempatan berkunjung langsung ke Australia untuk mengikuti program Australia-Indonesia Muslim Exchange Program yang digelar Australia-Indonesia Institute bekerja sama dengan Pemerintah Australia melihat langsung toleransi antarumat beragama (interfaith) dan multikulturisme. Harmoni ini terlihat di institusi publik,area publik, sekolah dan kampus, serta beberapa sektor kehidupan lain.

Pertama menjejakkan kaki di Bandara Sydney atau yang dikenal dengan Kingsford Smith Airport langsung disuguhi salah satu petugas berwajah Timur Tengah yang mengenakan jilbab. Bahkan, seorang petugas kepolisian di Kepolisian Dandenong di negara bagian Victoria, Senior Constable Maha Sukkar, menikmati kebebasannya mengenakan jilbab.

"Saya bisa bekerja nyaman, saya mensyukuri sebagai warga Australia dan bisa menikmati kebebasan menjalankan agama," ujar Maha Sukkar, perempuan asal Lebanon. Bagi Australia, kesempatan yang diberikan kepada Maha Sukkar yang berasal dari kalangan Islam dan juga warga negara lain yang berasal dari keturunan non-Eropa merupakan bagian dari pembangunan multikultural Australia.

Parliamentary Secretary for Multicultural Affairs and Settlement Services Laurie Ferguson MP menegaskan, meski muncul ancaman terhadap kohesi sosial, keserasian, dan keamanan akibat terorisme, warga muslim sama dengan warga negara lain yang mencintai perdamaian, bersedia membayar pajak, serta memberikan kontribusi pada kemasyarakatan dan perekonomian Australia.

Pemerintah Australia sendiri bertekat memastikan semua warga negaranya mendapat kesempatan menjadi warga yang aktif dan setara serta bebas melestarikan tradisi budaya masing-masing. Australia ingin membangun masyarakat yang beragam dan bersatu padu yang menghormati hak asasi manusia, demokrasi, dan perundangan, mengakui dan menghormati perbedaan, memberi kesempatan kepada semua, merayakan dan memanfaatkan keragaman, serta menghargai dan mendorong partisipasi seluruh warga dalam kehidupan bermasyarakat.

Hal itu terlihat dari diadakannya event Harmony Day setiap tanggal 21 Maret. Event yang mulai digelar 10 tahun lalu dan ditangani Departemen Imigrasi dan Kewarganegaraan itu merupakan wujud serius Negeri Kanguru untuk mempromosikan partisipasi, keterbukaan, penghargaan, dan rasa memiliki untuk semua orang (everyone belongs). Selain itu, agenda nasional ini juga diperuntukkan sebagai keseriusan warga Australia untuk memerangi rasialisme serta intoleransi agama dan kultural.

Sejarah Panjang

Corak masyarakat Australia adalah multikultural. Hal itu merupakan buah dari perjalanan panjang, terutama setelah pembatalan Kebijakan Australia Putih pada 1973. Inggris adalah bangsa yang pertama kali datang ke Australia sekaligus menempatkan kebudayaannya sebagai kebudayaan dominan di Australia.

Kedatangan Inggris bermula sejak penjelajah Inggris Kapten James Cook menginjakkan kakinya pertama kali pada 1770. Awalnya, Inggris memanfaatkan Australia sebagai tempat penampungan narapidana, tepatnya di Sidney, sejak 1788. Selain itu, Inggris juga tertarik dengan tambang emas yang terdapat di Australia.

Tidak hanya Inggris, bangsa Skotlandia dan Wales pun kemudian berbondong-bondong hijrah ke Australia sehingga mendominasi dan mewarnai negeri baru tersebut hingga kini. Mereka mendominasi sistem kebudayaan, bahasa, sistem pemerintahan, pendidikan, pertanian dan peternakan hingga olah raga seperti kriket, rugbi, tenis, dan balapan kuda.

Setelah Perang Dunia II hingga periode 1980-an, masyarakat Australia semakin multikultural dengan kedatangan kaum migran yang kebanyakan merupakan pengungsi dari daerah asalnya. Mereka antara lain pengungsi korban komunisme Eropa Timur seperti Italia dan Yunani. Semenjak pembatalan kebijakan Australia Putih, gelombang pengungsi migran non-Eropa juga mulai berdatangan.

Di antaranya korban perang saudara di Lebanon,pengungsi kerusuhan Cile dan El Salvador, pengungsi Vietnam, Kamboja, Laos, migran China,Hong Kong,Taiwan, serta pendatang dari Turki.Menurut catatan SI,Australia menempati posisi ketiga setelah Amerika Serikat dan Kanada sebagai negara pengungsi terbesar di dunia. Sejak Perang Dunia II, lebih dari 690.000 pengungsi bermukim di negara itu berdasar program kemanusiaan internasional.

Kedatangan mereka kemudian membawa keanekaragaman budaya, agama, dan bahasa. Dari sisi budaya misalnya, masyarakat Australia terdiri atas beragam suku bangsa. Berdasar sensus 2006, tercatat penduduk Australia kelahiran Eropa Barat mencapai 1,4 juta jiwa, Eropa Selatan dan Timur 722.000 jiwa, Asia Tenggara 553.000, Oseania 496.000, Asia Timur Laut 389.000, Asia Selatan dan Tengah 268.000, Afrika Utara dan Timur Tengah 251.000, Afrika Sub-Sahara 192.000, serta kawasan Amerika 180.000.

Agama yang dominan tidak hanya Kristen Anglikan yang dibawa keturunan Inggris, tapi juga aliran lain seperti Ortodoks dan Katolik yang kini menjadi agama terbesar dengan total 4,6 juta pemeluk dari total 21 juta penduduk Australia. Selain Kristen/Katolik, beberapa agama juga hidup seperti Islam (2%), Buddha (2%), Hindu (1%), Yahudi, Sikh, Baha'I, dan Ahmadiyah.

Bahkan berdasar sensus 2006, agama-agama non-Kristen/Katolik semakin meningkat perkembangannya, yakni Hindu (55%), Islam (21%), dan Buddha (17%). Begitu pun bahasa yang digunakan. Selain bahasa Inggris, dalam komunikasi sehari-hari masih banyak warga Australia yang mempertahankan bahasa ibu seperti Italia,Yunani, Kanton,Arab, Mandarin, Vietnam, dan ada pula yang menggunakan bahasa Indonesia. Kebudayaan, agama, dan bahasa yang berwarna-warni kini membentuk Australia sebagai negara multikultural.
(Koran SI/Koran SI/mbs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar